Rabu, 30 Desember 2009

Negeri Penuh Ironi

Negeri Penuh Ironi

Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal.

Laut kita luas, tetapi isi yang melimpah tak membuat nelayan kaya. Gas kita melimpah, tetapi pabrik pupuk kelimpungan,
bahkan beku operasi, kesulitan gas. Sumber batu bara kita bejibun, tetapi setrum PLN byarpet karena pasokan batu bara
mampat.

Studi The Economist (2003) mencatat 10 komoditas pertanian Indonesia (beras, lada, kopi, cokelat, minyak sawit, karet,
dan biji-bijian) menduduki peringkat 1-6 dunia. Pertanyaannya, apakah petani dan pekebun 10 komoditas itu sejahtera?
Tidak. Yang menikmati nilai tambah komoditas unggulan itu justru negara lain, dan kita tak menikmati apa-apa. Inilah
tragedi.

Tragedi itu tergambar dalam ungkapan, ”Kita punya barang, mereka punya harga.” Nilai tukar (terms of trade) dalam
transaksi perdagangan mencerminkan posisi tawar suatu produk. Kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Lebih dari
setengah abad lalu, ekonom Argentina Raul Prebisch dan ekonom Jerman Hans Singer mengingatkan, nilai tukar riil
produk primer pertanian atas produk manufaktur menurun secara permanen. Produk primer cenderung fluktuatif,
sedangkan produk jadi terus meningkat atau stabil. Ekonomi yang menggantungkan diri pada produk primer menghadapi
kepincangan harga yang tajam bila berhadapan dengan pemilik teknologi. Bahan mentah ditekan rendah, sementara
teknologi harus dibayar dengan harga super mahal.

Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Apakah petani, eksportir, pedagang
besar, atau pedagang pengumpul yang menentukan harga? Bukan. Penentu harga ada di London (London International
Financial Futures Exchange/LIFFE).

Alam memungkinkan kita menjadi produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun,
harga komoditas kakao ditentukan di New York Board of Trade.

Kita mengekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia mengalahkan Malaysia, tetapi harga CPO Indonesia
didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan
tahun.

Mulai 22 Juni 2009, dominasi Rotterdam sebagai basis acuan harga jual ekspor CPO ”diambil alih” lewat perdagangan
CPO fisik di Bursa Berjangka Jakarta, usaha itu patut dihargai.

Kita memproduksi 19,2 juta ton CPO, jauh meninggalkan Malaysia (15,9 juta ton). Dari jumlah itu, 5 juta ton CPO diserap
pasar domestik, sisanya diekspor. Indonesia-Malaysia memasok 80 persen produksi CPO dunia. Dengan kondisi seperti
itu, sejatinya Rotterdam tidak layak menjadi basis acuan harga ekspor karena perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta
ton per tahun.

Usaha seperti itu harus dilakukan untuk semua produk unggulan: minyak sawit, karet, kopi, kakao, tebu, lada, dan biji-
bijian. Selama ini kita terlena hanya berproduksi, tidak pernah menggarap pasar dan mengolahnya menjadi aneka produk
turunan. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kiblat harga sejumlah komoditas unggulan itu ada di dalam negeri,
bukan di negeri orang. Dengan demikian, saat ekspor kita tidak perlu melakukan berbagai perhitungan penyesuaian,
mulai dari diskon harga atas kualitas produk, ongkos angkut, asuransi, kurs mata uang asing, dan lainnya seperti selama
ini. Sebagai produsen utama seharusnya kita yang meraih nilai tambah lebih besar dengan memperdalam industri
pengolahan, bukan negara lain.

Sementara itu, sejak ratusan tahun lalu, negara-negara maju menyiapkan salah satu pilar ekonomi pasar, bernama bursa
berjangka. Bursa ini bisa menjadi wahana bertemunya semua permintaan dan penawaran dari seluruh dunia hingga
terbentuk harga tepercaya, yang kemudian menjadi kiblat pelaku ekonomi yang memiliki commercial interest terhadap
produk bersangkutan. Mekanisme bursa berjangka tidak hanya menangkap permintaan dan penawaran atas satu produk
saat ini, tetapi juga permintaan dan penawaran produk pada masa datang. Ini mencerminkan ekspektasi kondisi pasar
produk itu pada masa datang (Mahmud, 2007).

Ekspektasi harga inilah yang kemudian menjadi mesin penggerak utama keputusan ekonomi, seperti memproduksi,
mengolah, membeli, menjual, menyimpan, menabung, dan membelanjakan. Melalui mekanisme ini akan tercipta harga
acuan pada masa datang. Informasi harga ini akan menjadi acuan berharga bagi petani dan pekebun untuk menanam
atau tidak menanam sebuah komoditas. Ini menjadi petunjuk mereka saat panen nanti. Dengan serius menggarap pasar
dan memperdalam industri pengolahan, semoga kita bisa mengakhiri aneka ironi di negeri ini.

Oleh: Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/07/03203723/negeri.penuh.ironi

Beda Krisis 1997 dari Krisis Global

Beda Krisis 1997 dari Krisis Global

TIDAK bijaksana rasanya bila kita meyakini bahwa krisis finansial yang melanda Amerika Serikat (AS) tidak
akan memengaruhi ekonomi Indonesia.

Kurang rasional pula kalau kita mengabaikan begitu saja perkembangan terakhir krisis finansial di AS, yang dampaknya
sudah dirasakan dampaknya di dataran Eropa. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal ini saya tekankan.

Pertama, Indonesia menganut ekonomi terbuka. Bahkan dalam liberalisasi permodalan, Indonesia tergolong negara yang
sangat liberal dibandingkan negara-negara di Asia, termasuk Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang lebih kapitalis
ketimbang Indonesia.

Dengan demikian, setelah kejadian di AS, para investor asing yang menanamkan modalnya melalui surat-surat berharga
di Jakarta Stock Exchange tentu akan mengambil posisi mengamankan investasinya, dengan menjual saham-saham
mereka di pasar modal.

Hal ini terlihat dari nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus menurun. Ini berarti ada cash out flow cukup
besar, yang bila didiamkan akan merugikan ekonomi nasional.

Kedua, sejauh ini belum diketahui secara pasti berapa investasi yang ditanamkan orang per orang serta lembaga-
lembaga keuangan dari Indonesia di New York Stock Exchange (NYSE). Baru ada beberapa bank yang mengakui
menanam modalnya di pasar saham AS.

Tetapi saya meyakini, banyak investor Indonesia yang memiliki surat berharga dari lembaga-lembaga keuangan AS yang
bangkrut akibat imbas kredit macet perumahan di AS.

Dana mereka tentu saja menjadi insolven, atau tak bisa ditarik begitu saja, meski Kongres telah menyetujui usulan
Menteri Keuangan AS untuk mem-bailout kerugian pasar saham tersebut senilai 700 miliar dolar AS. Sebab dana sebesar
itu tidak begitu saja dikucurkan, masih ada prasyarat untuk pencairannya.

Ketiga, dalam struktur ekspor Indonesia, AS adalah pasar utama produk-produk Indonesia. Sekitar 20 persen dari total
ekspor Indonesia diarahkan ke Negeri Paman Sam, dan 30 persen ke Eropa.

Beberapa industri tekstil dan produk tekstil yang pasar utamanya ke AS sudah mulai mengeluh, karena banyak permintaan
dari pembeli untuk menjadwalkan kembali pengiriman barangnya, bahkan menunda pembelian. Jelas sekali, jika ekspor
menurun dan impor Indonesia tetap, akan terjadi defisit yang mau tidak mau akan menurunkan cadangan devisa.

Meskipun demikian, tidak pas pula apabila muncul kekhawatiran berlebihan dari pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat Indonesia terhadap situasi ini, sehingga tidak mempercayai kemampuan kita sendiri.

Akibatnya, kebijakan yang diambil bukan berorientasi memperkuat kemampuan ekonomi bangsa, tetapi semata-mata
untuk menjaga kenyamanan investor-investor asing agar tidak menarik dananya dari Indonesia dengan menerapkan
kebijakan moneter yang ketat.

Kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang yang membahayakan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi riil.
Karena itu, kita mesti menyikapi krisis keuangan AS secara proporsional, karena peristiwa seperti ini akan terus berulang
dan akan selalu dihadapi Indonesia yang notabene telah menjadi salah satu bagian kecil ekonomi global.

Dengan cara ini, kita akan mampu mengambil langkah-langkah profesional, meminimalkan dampak krisis keuangan AS
yang sudah mengimbas menjadi krisis global tanpa merugikan ekonomi nasional. Yang terpenting adalah membiasakan
diri menghadapi dampak krisis global.

Persamaan

Banyak analis mengatakan, krisis 1997 yang diawali dari terjun bebasnya nilai tukar bath (Thailand), kemudian merembet
ke Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia merupakan krisis moneter tipe baru yang dapat melahirkan teori baru
pula. Karena, faktor-faktor penyebab krisis tidak relevan dengan teori yang ada.

Berdasarkan model klasik Krugman (1979), yang berbasis pada krisis ekonomi di Meksiko tahun 1976, serta Argentina,
Brazil, Peru, dan Meksiko pada awal tahun 1980, krisis moneter terjadi karena defisit anggaran yang terus membesar,
sehingga mengurangi cadangan devisa dan kegagalan exchange rate peg.

Sepanjang 1990-1996, baik Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan telah melaksanakan kebijakan
fiskal dan moneter yang cukup hati-hati, sehingga kinerja keuangannya menunjukkan perkembangan positif.

Diantaranya defisit anggaran tergolong moderat (bahkan khusus 1996, Indonesia, Korea dan Thailand tidak defisit),
perbandingan utang publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga rendah, tingkat inflasi terjaga dan rendah, serta
cadangan devisa terus meningkat.

Karena itu, pada awal jatuhnya nilai tukar bath, Menteri Keuangan (saat itu Mar’ie Muhammad) berulang kali mengatakan
kepada media bahwa fundamental ekonomi kita kuat, sehingga tidak akan terpengaruh oleh krisis Thailand.

Namun pada akhirnya, Indonesia justru merasakan dampak krisis Thailand yang paling parah ketimbang empat negara
lainnya. Sekarang, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Budiono mengatakan hal yang hampir sama secara
substansial dengan apa yang dikatakan Mar’ie Muhammad.

Setidaknya, kinerja ekonomi nasional saat ini adalah yang terbaik setelah 10 tahun krisis moneter. Kinerja ekspor
nonmigas sudah menembus angka 50 miliar dolar AS, serta selalu surplus setiap bulan.

Cadangan devisa per Agustus 2008 mencapai 59,6 miliar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi sampai akhir 2008
diperkirakan melampaui 6 persen, dan tingkat inflasi diharapkan tidak lebih dari 11,5 persen. Tingginya tingkat inflasi
tahun ini lebih banyak disebabkan cost push inflation, akibat naiknya harga BBM bulan Mei lalu.

Dari data tersebut, setidaknya kita meyakini satu hal, bahwa tanpa adanya gejala-gejala krisis bukan berarti Indonesia
akan terhindar dari krisis.

Krisis 1997 memberi pelajaran berharga agar kita lebih waspada. Lalu, patutkah kita lebih optimistis untuk mengatakan
bahwa kita sekarang sudah lebih dewasa dan lebih mampu mengelola krisis?

Perbedaan

Pengaruh krisis finansial AS sudah pasti akan dirasakan Indonesia; tinggal menghitung tingkat kesakitannya, apakah
sama atau berbeda dengan tahun 1997.

Andai kondisi ekonomi Indonesia, baik sistem maupun strukturnya, masih mengikuti pola sebelum 1997, mungkin saja
akan lahir efek contagion jilid dua, yang akan membawa kembali negeri ini ke dalam nestapa krisis moneter.

Tetapi yang saya yakin, dan harus didukung kuat oleh masyarakat Indonesia, kebijakan ekonomi Indonesia sudah
berbeda dengan masa lalu.

Pertama, nilai tukar rupiah sudah diserahkan pada mekanisme pasar (floating rate), tidak lagi menganut nilai tukar
mengambang terkendali yang membuat BI harus terus melakukan intervensi pasar guna menjaga agar nilai tukar rupiah
tetap berada pada kisaran yang sudah ditetapkan.

Sesuai dengan UU, Bank Indonesia berkewajiban menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, namun tidak dipaksa menjaga
pada nilai tukar tertentu, sehingga BI tidak harus bolak-balik intervensi ke pasar uang.

Kedua, tingkat cadangan devisa Indonesia sudah sangat memadai. Jika akhir 2007 masih 17 dolar AS, per Agustus 2008
sudah mencapai 59,6 miliar dolar AS.

Cadangan devisa negara membantu pemerintah mengelola risiko yang harus dihadapi, dan memperkuat keyakinan
terhadap negara maupun mata uangnya. Makin besar cadangan devisa negara, kian kuat pula negara dalam mengelola
risiko yang sedang dihadapinya.

Ketiga, sistem perbankan nasional dewasa ini sudah dibentengi dengan berbagai aturan.

Belajar dari banyaknya moral hazard yang terjadi sebelum krisis moneter 1997, BI telah menerbitkan berbagai aturan
dalam pengelolaan bank. Dengan demikian, kecil peluangnya bagi pemilik untuk menggunakan dana masyarakat bagi
kepentingan bisnisnya.

Pemilik pun tidak bisa semau gue dalam menentukan pengurus bank. Pengawasan oleh BI terhadap operasional bank
terbilang sangat ketat, sehingga kecurangan-kecurangan yang dilakukan manajemen bank cepat terdeteksi.

Adanya Sistem Informasi Debitur (SID) yang memungkinkan BI mengetahui identitas debitur seluruh bank dan
memungkinkan bagi manajemen bank untuk tidak dikelabui debitur, sangat membantu dan mendorong semakin
mantapnya perbanan nasional.

Hanya saja yang membedakan dengan krisis 1997 adalah bahwa hubungan dagang Indonesia dan Thailand sangat kecil,
sedangkan hubungan dagang Indonesia dan AS sangat besar.

Menurut teori, saat terjadi krisis dari salah satu negara jelas akan berdampak besar pada perekonomian negara yang
menjadi mitra dagangnya.

Tampaknya, teori ini tak akan terbukti kalau seluruh masyarakat mempercayai kebijakan yang diambil pemerintah. Sebab,
saat krisis 1997 mendera ekonomi nasional, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem ekonomi nasional
sangat rendah.

Saat Menteri Keuangan meminta masyarakat untuk tenang, justru direspon masyarakat dengan berlomba-lomba menukar
rupiahnya dengan dolar AS.
Karena itu, saya percaya, apapun bagusnya sistem yang dikembangkan, kalau tanpa dukungan kepercayaan masyarakat,
maka sistem tersebut akan menjadi hampa. Sekarang pun saya percaya, ekonomi kita akan tetap tegar menghadapi krisis
keuangan global, jika masyarakat percaya sepenuhnya dengan kekuatan ekonomi nasional. (32)

Sumber: http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=34038

Minggu, 01 November 2009

ETIKA BISNIS : PENTINGKAH ?

ETIKA BISNIS : PENTINGKAH ?
Apakah memang ada etika bisnis ? Apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika ? Bukankah bisnis dan etika berada di dua dunia yang berbeda ? Demikianlah opini yang sering beredar di kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang berkecimpung di dunia bisnis. Jangan-jangan etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori di kampus-kampus semata. Toh, pada kenyataannya, jika memang mau untung, sering kita harus melupakan etika. Benarkah demikian?
Baiklah, mari kita lihat dulu, apa sih sebenarnya pengertian etika tersebut. Apakah itu etika ? Banyak sekali definisi yang berkaitan dengan etika. Tetapi pada intinya adalah, semua norma atau “aturan” umum yang perlu diperhatikan dalam berbisnis yang merupakan sumber rujukan nilai-nilai yang luhur dan kebajikan. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi, di mana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan perkataan lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan.
Jadi dengan demikian, etika tersebut memanag tidak memiliki sanksi yang jelas, selain barangkali sanksi moral, atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Jadi, jika bersandar kepada definisi hukum, maka melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata, sementara itu melanggar etika sanksinya tidak jelas, atau hanya sanksi moral semata. Jadi, sering etika tidak begitu diperhatikan.
Etika juga tidak sama dengan etiket, di mana etiket adalah suatu tatakrama pergaulan pada komunitas dan situasi tertentu yang disepakati bersama. Misalnya cara makan yang baik, cara berjalan yang baik, dan sebagainya. Ini adalah etiket, dan etiket itu bisa jadi merupakan bagian dari etika.
Nah, pada tulisan ini saya akan membahas mengenai etika, bukan etiket, bukan pula hukum atau regulasi. Misalnya contoh kasus begini, Anda menjual handset dengan mutu rendah atau cacat, tetapi dengan suatu cara jitu, Anda berhasil menyembunyikan masalah pada handset itu sehingga secara kasat mata tidak diketahui oleh pemakai, kecuali setelah menggunakannya selama beberapa waktu. Kemudian Anda membuat aturan, bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi dan barang itu tanpa garansi. Lalu ada orang yang membeli handset tersebut, dan tentu saja sebagai orang awam, dia tidak bisa melihat masalah atau kerusakan pada handset tersebut, dan transaksi pun terjadi. Tidak lupa Anda mengingatkan kepada dia bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi.
Setelah beberapa waktu, ternyata dia komplain kepada Anda bahwa ada masalah pada handset yang dia beli dan dia menuntut Anda untuk menggantinya. Lalu Anda berdalih, bahwa waktu terjadi transaksi dulu kan barangnya bagus-bagus saja, tidak ada masalah, dan si pembeli tidak komplain apa-apa. Lalu dengan dalih bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar / dikembalikan lagi, Anda menolak untuk mengganti handset tersebut, apalagi memang tidak ada garansi.
Salahkah Anda ? Secara hukum bisa jadi Anda benar. Tanpa menyewa pengacara handal pun, rasanya sudah bisa ditebak bahwa Anda akan menang berdebat dengan si pembeli tadi. Tetapi dari sisi pandang etika bisnis, Anda jelas-jelas salah, di mana Anda sebenarnya sudah mengetahui bahwa barang tersebut ada cacatnya atau ada masalahnya, tetapi Anda sembunyikan atau tidak memberitahu si pembeli. Artinya, dari awal Anda sudah tidak memiliki itikad baik dalam berdagang. Tetapi siapa yang bisa mengukur itikad ? Susah kan ? Sudah pasti dengan berbagai dalih, di kacamata hukum, bisa jadi Anda memang. Bahkan undang-undang perlindungan konsumen pun agak susah dipergunakan di sini. Bagaimana proses pembuktiannya ?
Oke lah, katakan Anda menang, tetapi benarkan Anda menang ? Dalam jangka pendek iya ! Tetapi tentu saja si pembeli tidak akan puas, dan karena dia “dikalahkan secara hukum” maka dia akan menulis surat pembaca di koran atau menyampaikan keluhan dia ke lembaga konsumen, atau menyampaikan kepada orang-orang lain. Dalam jangka panjang, akan terbentuk opini masyarakat mengenai toko Anda, yaitu menjual barang rusak dan tidak bagus. Ini jelas opini negatif, dan berpotensi untuk menjatuhkan reputasi Anda, dan lambat-laun, bisa jadi pembeli cenderung menurun. Jadi, dalam jangka panjang bisnis Anda bisa bermasalah. Di sini jelas terlihat, bahwa sanksi etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka panjang.
Jadi, dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika bisa jadi menuai keuntungan, tetapi dalam jangka panjang, biasanya bermasalah dan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat.
Oke, sekarang Anda sudah tahu bahwa etika itu penting. Sekarang, bagaimanakah sebenarnya bisnis yang beretika tersebut ? Apakah standar etika ? Nah, sekali lagi, etika tidak ada standar, karena kalau Anda meminta standar etika, sebenarnya Anda meminta hukum atau regulasi yang formal. Bisa jadi ada aspek-aspek etika yang sudah diformalkan menjadi hukum dan regulasi, tetapi masih sangat banyak yang belum. Misalnya, bagaimana Anda memformalkan itikad baik ? menyembunyikan informasi ? dan sebagainya. Dengan mudah dalih sederhana akan membuat Anda menang.
Tetapi berbagai pemikir etika di dunia mencoba untuk membuat panduan. Salah satunya adalah “prinsip bolak-balik” atau prinsip imperatif dalam etika yang dipopulerkan oleh filsul Immanuel Kant, di mana sesuatu tindakan dianggap tidak beretika apabila orang lain melakukannya kepada Anda, maka Anda tidak bisa menerimanya. Maksudnya begini, apakah bisa menerima jika Anda dipukul oleh orang lain ? Tentu saja tidak ! Rasanya akan sakit. Nah, berdasarkan “prinsip bolak-balik”, maka memukul orang lain dianggap tidak beretika, karena Anda pun tidak mau dipukul. Nah, di sini batasannya sangat subyektif sekali bukan ? Tetapi prinsip bolak-balik sudah cukup menjadi panduan etika yang sangat berpengaruh.
Apakah Anda bisa menerima kalau ternyata dibohongi oleh orang lain dalam berbisnis ? Jawabannya pasti tidak mau ! Maka dengan demikian, membohongi konsumen, atau menyembunyikan informasi yang penting (information asymmetry) adalah tindak yang tidak beretika dalam bisnis.
Kasus lain, katakan seperti ini, sekelompok penjual kartu isi ulang merek tertentu dengan sengaja menumpuk atau tidak menjual kartu isi ulang dengan harapan, akan terjadi kelangkaan di pasar, dan mereka bisa menaikkan harga atau menjual lebih tinggi, sesuai dengan teori demand and supply atau permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Secara hukum mungkin saja hal ini melanggar peraturan atau regulasi, tetapi sekali lagi, jelas pembuktiannya sangat sulit. Ini adalah masalah itikad baik. Bagaimana pandangan etika mengenai hal ini ?
Sekali lagi, dengan “prinsip bolak-balik”, sekali lagi kita bisa menilai, apakah sesuatu itu beretika atau tidak. Apakah kita bisa menerima jika seandainya ada orang lain yang menimbun barang sehingga harganya mahal dan kita adalah konsumen barang tersebut ? Jika kita ikut kesal dengan ulah “spekulan” seperti ini, maka kegiatan menimbun barang tersebut dikategorikian tindakan tidak beretika.
Kesimpulannya, suatu tindakan dianggap beretika apabila Anda pun tidak keberatan jika orang lain melakukan hal itu terhadap diri Anda, sesuai dengan prinsip bolak-balik.
Tetapi masalahnya tidak semua orang memiliki wawasan atau pandangan yang sama. Semakin terdidik atau terpelajar, atau semakin luas wawasan seseorang, maka biasanya semakin komprehensif analisisnya untuk etika ini. Misalnya begini, apakah membuang sampah ke sungai itu melanggar etika ? Bagi orang yang tidak mengerti masalah lingkungan hidup, maka membuang sampah ke sungai itu sah-sah saja, dan dia pun tidak keberatan jika ada orang lain yang membuang sampah ke sungai. Dalam perspektif orang ini, jelas membuang sampah ke sungai tidak bertentangan dengan etika. Tetapi buat orang yang mengerti masalah lingkungan hidup, dan paham bahwa ini akan mengakibatkan banjir, maka dia akan menilai bahwa membuang sampah ke sungai adalah tindakan yang melanggar etika.
Begitu juga dalam berbisnis. Tidak semua pelaku bisnis menyadari apa dampak ekonomi dan sosial dari apa yang mereka lakukan. Apalagi yang sifatnya dampak tidak langsung, lebih tidak disadari lagi. Misalnya menjual barang rusak atau cacat. Bisa jadi Anda menganggap toh sah-sah saja menjual barang rudak atau cacat, karena Anda yakin semua konsumen akan memeriksa dulu setiap barang yang akan mereka beli. Kalau oke, silakan beli, kalau tidak, ya tidak apa-apa. Sepintas lalu, kelihatannya hal seperti ini tidak ada masalah, tetapi dia akan menjadi masalah begitu kita menyadari bahwa ternyata tidak semua konsumen itu mampu memerika barang yang kita jual tersebut dengan baik.
Nah, di sini Anda bisa berdalih kan ? Salah sendiri kenapa tidak memeriksa dulu barang yang dibeli ? Persoalannya tidak sesederhana itu, karena sekali lagi setiap individu itu punya wawasan serta kemampuan yang berbeda-beda. Rasanya akan sakit sekali jika ketahuan belakangan bahwa ternyata kita membeli barang yang rusak atau cacat, tetapi si penjual tidak menyampaikannya kepada kita, alias si penjual tidak memberikan informasi yang utuh mengenai produk yang dijual atau information asymmetry. Nah, Anda bisa saja berdalih, salah sendiri kenapa tidak teliti atau tidak bertanya sewaktu membeli. Akhirnya kita kembali kepada aspek lain dari etika, yaitu itikad baik. Jelas, ada suatu itikad yang tidak baik dari Anda untuk tidak menyampaikan kerusakan atau cacat barang tersebut kepada konsumen.
Kesimpulannya, etika bisnis sangat tergantung kepada itikad baik, dan hanya Anda sendirilah yang mengetahui itikad baik ini, orang lain susah atau bahkan tidak akan tahu sama sekali, bahkan jika Anda melanggar pun, orang lain tidak mudah untuk mengetahuinya.
sumber : http://www.ririsatria.net/2008/10/07/etika-bisnis-pentingkah/

Kamis, 29 Oktober 2009

Apa Keluhan Terbesar Konsumen SMS Premium

Apa Keluhan Terbesar Konsumen SMS Premium
BAB I
PENDAHULUAN

Perlunya etika dalam berbisnis. Pada saat ini, mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat.

Apakah itu etika? Etika dapat diartikan sebagai pegangan atau orientasi dalam menjalani hidup. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Ada sasaran dan arah dari tindakan atau hidup manusia. Banyak sekali definisi yang berkaitan dengan etika. Tetapi pada intinya adalah, semua norma atau “aturan” umum yang perlu diperhatikan dalam berbisnis merupakan sumber rujukan nilai-nilai yang luhur dan kebajikan. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi, di mana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan perkataan lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan.

Jadi dengan demikian, etika tersebut memang tidak memiliki sanksi yang jelas, selain barangkali sanksi moral, atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Jadi, jika bersandar kepada definisi hukum, maka melanggar etika belum tentu berarti melanggar hukum. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata, sementara itu melanggar etika sanksinya tidak jelas, atau hanya sanksi moral semata. Jadi, sering etika tidak begitu diperhatikan.

Dalam prinsip-prinsip etika bisnis terdapat salah satu yang penting yaitu tanggung jawab moral, persoalan pelik yang harus dijawab pada tempat pertama adalah manakah kondisi bagi adanya tanggung jawab moral. Seperti di lingkungan perusahaan ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Dengan adanya prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi. Maka, secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak-pihak tertentu dalam masyarakat.

Setelah mempelajari dan mengetahui apa itu arti dari etika dalam berbisnis, serta prinsip tanggung jawab moral perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dengan ini kami sajikan pembahasan contoh kasus etika bisnis perusahaan yang bergerak di bidang Telekomunikasi.

BAB II
Pembahasan

Apa Keluhan Terbesar Konsumen SMS Premium?
Jakarta - Layanan SMS Premium yang mengecewakan konsumen semakin merajalela, konsumen pun mengeluh ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Apa keluhan terbesar mereka? Indah Suksmaningsih, anggota BPKN, mengatakan keluhan yang diajukan konsumen cukup beragam, mulai dari tidak jelasnya informasi yang ditawarkan, kualitas layanan, pengambilan pulsa sepihak, kesulitan unregister layanan sampai tidak adanya penanganan pengaduan lewat customer service terutama oleh penyedia jasa sebagai bentuk tanggung jawab usaha. Selain itu, Indah melanjutkan, yang paling mengecewakan konsumen adalah layanan dengan sendirinya tanpa registrasi atau aktivasi. Hal itu dikatakannya dalam 'Forum Dialog Trust Building dengan Penyedia Jasa SMS Premium' di kantor Departemen Perdagangan, Jl Ridwan Rais, Jakarta, Senin (25/6/2007). "Pihak penyedia jasa layanan SMS premium baik operator maupun content provider belum memberikan standar pelayanan minimal. Baik informasi produk layanan, kualitas, tarif, hingga mekanisme penahanan pengaduan. Sehingga operator dan content provider biasanya saling lempar tanggungjawab," tambah Indah. Hasil monitoring BPKN menyebutkan, konsumen yang mengeluhkan SMS premium ini masuk lewat 3 kategori yaitu:
1. Pengambilan pulsa konsumen, yang mengadu 23 orang, operator yang diadukan ABC, KLM, XYZ
2. Kesulitan menghentikan layanan content provider, yang mengadu 8 orang, operator yang diadukan ABC dan XYZ
3. Penipuan berkedok undian berhadiah, yang mengadu 7 orang, operator yang diadukan ABC Dari hasil itu, layanan Esia dari PT Dengar Talk,meraih keluhan dari konsumennya pada semua kategori. Namun, meski muncul di setiap kategori, bukan berarti konsumen ABC adalah yang paling banyak mengajukan keluhan. BPKN tidak merinci operator mana yang memperoleh keluhan terbanyak. Eni Suhaeni, koordinator komisi 2 BPKM mengatakan SMS Premium ini bisa melanggar pasal 15 dan 18 F Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal ini mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis. Menanggapi hal itu, vice president VAS and New Services komunikasi, I Made Hartawijaya, menyatakan bahwa selama ini belum ada regulasi jelas untuk content provider. Sehingga, lanjutnya, tidak bisa dikatakan content provider tersebut telah melanggar batasan. "Contohnya kuis via SMS, sampai sekarang belum ada regulasi apakah masuk dalam kategori judi atau tidak," ujar Made. ( wsh / wsh )

nama kelompok : 1. Hakam Sudrajad (11206206)
2. Lutfi jaya Putra (11206204)
3. Muhammad Zam- Zami (10206658)

Senin, 05 Oktober 2009

money game

1. Tidak setuju. Sebagian besar anggota yang ikut dalam bisnis tersebut adalah masyarakat awam yang tidak begitu mengerti tentang cara, proses, dan akibat dari money game. Mereka hanya diberikan sedikit pengertian dari tata cara bisnis money game, hal tersebut merupakan gambaran yang diberikan oleh pengelolah untuk menggambarkan bahwa para anggota akan memperoleh keuntungan yang besar. Namun akhirnya para anggota yang telah ikut serta dalam praktik money game justru hanya akan mendapat kerugian dan menguntungkan perusahaan yang menjalankan bisnis tersebut.
2. Dengan tidak mentolelir dan menolaknya praktik money game yang berkedok usaha penjualan langsung yang ditegaskan oleh Departemen Perdagangan hal tersebut merupakan usaha yang patut didukung dan diterima. Karena dengan menolaknya praktik money game tentu akan mengurangi korban yang ikut kedalam permainan bisnis tersebut.
3. Dapat dimengerti dan dimaklumi, karena sebagian besar masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang belum mengerti mengenai ilmu suatu bisnis. Sehingga dengan ilmu yang terbatas dan di dorong keinginan untuk memperoleh keuntungan yang banyak dan singkat mereka dengan gampang terpengaruh oleh ajakan – ajakan usaha bisnis yang dilakukan perusahaan yang tidak bertanggung jawab.
4. Dengan adanya praktik bisnis tersebut seharusnya aparat yang berwenang melarang. Karena setiap usaha bisnis yang akan dijalani patutlah kita memperhatikan etika bisnis dan hukum – hukum yang terkait. Sehingga tidak ada pihak manapun yang merasa dirugikan dalam usaha-usaha bisnis yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
5. Pandangan saya kurang setuju. Karena dalam melakukan suatu usaha bisnis walaupun hal tersebut tidak melanggar hukum, kita tetap harus melihat etika dari bisnis tersebut. Karena dengan menerapkan etika bisnis tersebut setidaknya kita mengerti baik dan buruknya suatu usaha yang dilakukan. Dan apakah usaha yang kita jalankan memiliki dampak positif atau negatif.